Dikte.id | Namanya Darmin, lelaki tua dari Desa Karangjati. Umurnya sudah 74 tahun ketika namanya diumumkan sebagai salah satu calon jemaah haji dari kabupaten kecil di Jawa Timur. Meski langkahnya sudah goyah dan pendengarannya mulai berkurang, matanya bersinar seperti anak muda.
Sejak usia 30-an, ia mulai menabung. Bukan dari penghasilan besar, melainkan dari sisa-sisa hasil menjual singkong dan telur ayam. Bahkan saat istrinya jatuh sakit dan rumahnya bocor di banyak sisi, ia tetap menyisihkan seribu-dua ribu rupiah dalam kaleng biskuit bekas di bawah tempat tidurnya. Bila ditanya mengapa tidak memperbaiki atap atau membeli kasur baru, ia hanya menjawab,
“Kalau mati sebelum ke Mekah, aku takut Allah bilang aku kurang sungguh-sungguh.”
Desa Karangjati heboh ketika Pak Darmin akhirnya berangkat. Hari itu, hampir seluruh warga mengantar kepergiannya. Di pundaknya tergantung tas kecil berisi pakaian ihram dan sarung batik kesayangannya. Di saku bajunya, terselip foto lama: dirinya bersama istrinya, Marni, yang telah meninggal dua puluh tahun silam.
“Aku bawa dia ke Mekah,” katanya kepada salah satu cucunya. “Dia belum pernah melihat Ka’bah, biar aku yang tunjukkan.”
Setibanya di Tanah Suci, Pak Darmin tak berhenti menangis. Saat pertama kali melihat Ka’bah, tubuh tuanya bergetar hebat. Ia jatuh sujud di lantai Masjidil Haram, menciumi lantai yang basah air mata. Doa-doanya panjang, dalam bahasa Jawa, dengan suara pelan dan parau. Tidak semua orang paham, tapi siapa pun yang mendengarnya tahu bahwa doa itu lahir dari hati yang bersih dan rindu yang dalam.
Di penginapan, Pak Darmin satu kamar dengan Rizal, seorang jemaah muda asal Banjarmasin. Rizal sempat mengeluh saat tahu akan sekamar dengan orang sepuh. Tapi malam pertama, ketika ia mendengar Pak Darmin merintih dalam doa sambil memegang foto istrinya, ia luluh.
“Saya janji ke istri, kami mau naik haji sama-sama. Tapi dia keburu pulang duluan. Jadi ini perjalanan kami… meski saya sendiri.”
Setiap hari, Pak Darmin melaksanakan semua rangkaian ibadah dengan penuh semangat, meski tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Ia berjalan perlahan, dibantu tongkat dan kadang Rizal. Saat tawaf, ia menahan sakit di lutut demi menyelesaikan putaran terakhir.
Saat wukuf di Arafah, tubuhnya mulai melemah. Udara terik menggigit kulit, dan napasnya berat. Petugas haji memintanya untuk beristirahat di dalam tenda ber-AC, tapi ia menolak.
“Ini puncaknya. Kalau aku wafat di sini, aku tenang. Surga lebih dekat di Arafah.”
Sore itu, langit mulai berawan. Angin padang Arafah menggerakkan tirai-tirai tenda. Rizal baru saja kembali dari mengambil air ketika mendapati Pak Darmin bersandar di pojok tenda, tangannya menggenggam tasbih, matanya terpejam. Di mulutnya masih ada gumaman lemah—ucapan talbiyah terakhir.
“Labbayk Allahumma labbayk…”
Itulah kata terakhir Pak Darmin. Tenang. Tanpa jerit, tanpa isak.
Jenazahnya segera diurus sesuai syariat. Dalam waktu singkat, Pak Darmin dimakamkan di Ma’la, tanah suci yang juga jadi tempat peristirahatan para syuhada dan orang-orang pilihan. Tak satu pun anak-anaknya hadir secara fisik, tapi petugas haji memastikan semuanya dilakukan dengan hormat.
Ketika kabar wafatnya sampai ke desa, tidak ada tangis berlebihan. Hanya doa yang mengalir di masjid dan mushola. Warga berkumpul, bukan untuk berduka, tapi untuk mengenang seorang lelaki sederhana yang pulang lewat jalan paling suci.
Di rumahnya, kaleng biskuit bekas yang dulu menyimpan harapan kini kosong. Tapi di dinding, cucunya menggantung foto Pak Darmin dengan pakaian ihram, tersenyum di depan Ka’bah.***
















