Dikte.id | Malam terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan turun pelan, mengetuk atap rumah seperti alunan duka yang telah lama menetap di hati Sari.
Ia berdiri di depan cermin, mengenakan daster lusuh warna hijau pucat. Tangannya menyentuh perutnya yang membuncit. Bukan lemak, bukan mimpi. Tapi kehidupan—kehidupan yang telah lama ia nanti, yang dahulu hanya bisa ia bayangkan dalam doa-doa tengah malam.
Air mata jatuh tanpa suara. Tangis bahagia yang tak bisa dibedakan dari luka yang masih membekas.
Sari dan Bima telah menikah selama sepuluh tahun. Sebuah pernikahan yang bermula dari cinta, lalu berkelok menuju ujian yang terus menghantam hati mereka: ketiadaan anak.
Setiap bulan, ketika haid datang, Sari menangis diam-diam di kamar mandi. Ia menangis karena berharap, dan kembali menangis karena gagal berharap. Tubuhnya sehat, suaminya pun begitu. Tapi entah mengapa, rahimnya seperti ruang kosong yang terus menolak kehadiran cahaya.
“Maaf, Bi… mungkin aku bukan perempuan yang lengkap,” ucap Sari suatu malam, ketika ia nyaris menyerah pada takdir.
Bima memeluknya, tetapi hatinya juga rapuh. Ia lelah menahan tatapan iba keluarga, ucapan-ucapan pedas yang dibungkus senyum pura-pura.
“Kapan kami boleh gendong cucu?”
“Ayahmu dulu anak keenam. Kamu belum juga punya satu.”
Tawa keluarga berubah menjadi luka. Sari sering pura-pura sibuk saat arisan, menghindari pertanyaan-pertanyaan yang menusuk hati.
Hingga pada tahun ke-10, ketika mereka hampir menyerah dan mulai menabung untuk adopsi, sebuah keajaiban terjadi. Dua garis merah. Sederhana, tapi begitu sakral. Seperti Tuhan akhirnya mengetuk kembali pintu rumah mereka.
Sari sujud syukur. Bibirnya bergetar membaca doa yang dulu hampir ia lupakan. Bima menangis, pertama kalinya dalam hidup Sari melihat suaminya menangis tak peduli dunia.
Kehamilan Sari tidak mudah. Ia muntah-muntah hebat, tekanan darahnya naik turun, dan harus beristirahat total selama trimester kedua. Namun ia bertahan. Dengan napas pendek, dengan punggung yang nyeri, ia menulis nama-nama di buku kecil: “Ayla”, “Dira”, “Naira”.
Suatu malam, ia mengalami pendarahan. Rumah sakit jadi saksi jeritan hati seorang calon ibu yang berpegangan pada secuil harapan.
“Bu, kita hampir kehilangannya tadi…” kata dokter. Tapi Tuhan masih memberi waktu.
Hari itu datang.
Di ruang bersalin, Sari menggigit bibir menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Tubuhnya menggigil, antara hidup dan mati. Ia sempat kehilangan kesadaran. Namun sebelum gelap sempurna menelan, ia mendengar suara tangis—nyaring, penuh tenaga.
Bayi perempuan itu lahir. Kecil, merah, dan sempurna.
Sari terbangun beberapa jam kemudian. Matanya samar, namun ia tahu suara itu—tangis bayi yang memenuhi relung hatinya.
“Selamat, Bu. Putri Ibu sehat,” kata suster sambil menyerahkan bungkusan kecil itu ke pelukannya.
Sari mencium kening anaknya, seolah mencium seluruh doa yang telah ia bisikkan selama sepuluh tahun.
“Naira…” bisiknya, “kau datang setelah badai. Kau adalah matahariku yang lama hilang.”
Bima berdiri di sisi ranjang, menggenggam tangan istrinya dengan mata berkaca-kaca.
Sore itu, hujan berhenti. Langit membuka cahaya, dan di luar jendela rumah sakit, pelangi muncul dengan anggun. Seolah semesta ikut menyambut kelahiran cinta yang paling suci. ****