Dikte.id | Desa Sukaendah adalah tempat di mana waktu berjalan lambat, namun bisik-bisik lebih cepat dari angin. Ketika Pak Dirga pindah ke sana, desa itu seperti terbangun dari tidur panjangnya.
Pak Dirga adalah duda pemilik usaha koran daerah, “Suara Timur”. Istrinya meninggal karena kanker dua tahun lalu, dan sejak itu hidupnya sunyi, hanya diisi suara mesin cetak dan lembaran berita. Ia pindah ke desa untuk menenangkan diri, membeli rumah tua yang dulu milik pensiunan guru.
Lastri, 27 tahun, adalah guru honorer di sekolah dasar. Anak sulung dari keluarga sederhana, ia dikenal sebagai gadis cerdas, pendiam, dan sangat menjaga martabatnya. Rani, 24 tahun, kebalikannya. Ia keras, lugas, anak seorang janda penjual sayur. Rani banting tulang di pasar, tapi menyimpan kelembutan yang tak semua orang tahu.
Keduanya tidak pernah benar-benar akrab. Tapi sejak Pak Dirga datang, benih kompetisi mulai tumbuh—pelan, halus, dan perlahan berubah menjadi ketegangan.
Lastri melihat Pak Dirga sebagai sosok intelektual yang sejiwa. Ia mulai menulis opini dan mengirimnya ke “Suara Timur”. Tulisannya tentang pendidikan di desa mendapat tanggapan langsung dari Pak Dirga lewat surat balasan yang sopan namun hangat.
Sementara Rani mengenal Pak Dirga lewat interaksi sehari-hari. Ia pernah membantunya mengganti ban motor, mengantarkan gorengan saat hujan, bahkan menemani Pak Dirga mengunjungi rumah-rumah warga saat koran mulai merosot peminatnya.
Satu hari, saat Lastri datang ke rumah Pak Dirga untuk menyerahkan naskah langsung, ia melihat Rani sedang duduk di beranda rumah pria itu, tertawa pelan sambil menyodorkan teh. Hatinya tercekat. Ia tak tahu sejak kapan mereka sedekat itu.
Waktu berjalan, dan akhirnya Pak Dirga membuat keputusan. Ia melamar Rani secara sederhana di rumah ibunya. Tak ada pesta mewah. Hanya beberapa keluarga dekat dan secarik undangan yang dikirimkan lewat pos desa.
Lastri hancur dalam diam.
Ia tak datang ke lamaran itu. Ia juga tak lagi mengirim tulisan ke “Suara Timur”. Beberapa bulan kemudian, ia diterima menjadi guru tetap di kabupaten, dan pergi dari desa.
Namun sebelum ia berangkat, ia menulis surat dan menitipkannya kepada Pak Dirga.
“Pak Dirga, Saya bukan kecewa karena tidak dipilih. Saya hanya kecewa karena saya lupa bahwa cinta bukan soal logika atau kesamaan pikiran. Cinta, seperti berita, sering datang dari arah yang tak kita duga.
Tapi saya tidak menyesal pernah berharap.
Terima kasih telah menjadi inspirasi dalam tulisan-tulisan saya.
Semoga Rani dan Bapak hidup dalam ketulusan, sebab ia, saya yakin, mencintai Bapak bukan karena siapa Bapak di luar, tapi siapa Bapak ketika lelah pulang kerja.
Hormat saya,
Lastri.”
Pak Dirga membaca surat itu berkali-kali, dan setiap kali, ia merasa seperti membaca lembaran koran terakhir dari edisi yang paling berharga—yang tak akan pernah dicetak ulang. ***